Dari: Arnold.Dharmawan@id.panasonic.com <Arnold.Dharmawan@id.panasonic.com>
Judul: RE: [HRM-Club] Diskusi dan Sharing MENURUNKAN UPAH PEKERJA
Kepada: HRM-Club@yahoogroups.com
Tanggal: Kamis, 30 Mei, 2013, 6:13 AM
Yang bapak sampaikan ada benarnya juga. Tapi coba kita telaah secara detail dari aturan hukumnya, secara perdata & hubungan industrial. Seperti yg saya tuliskan, bhw upah adalah merupakan bagian dari perjanjian kerja. Dan perjanjian kerja adalah sebuah produk hukum yg harus memenuhi syarat dari 1320 BW. Jika kita melihat dari konteks itu, maka perjanjian sah2 saja jika akan dirubah, sepanjang memang ada kesepakatan bersama dari para pihak yg menandatanganinya. Tidak bisa diputuskan secara sepihak atau hanya karena satu dan lain hal yg tdk bisa dijelaskan melalui aturan hukum yg sah.
Jika bapak menganggap upah yg merupakan bagian dari perjanjian (salah satu klausa) perjanjian tdk bisa dirubah, artinya perusahaan tdk bisa menurunkan upah jika perusahaan dalam kondisi financial problem yg dengan terpaksa harus mengurangi upah karyawannya agar perusahaan bisa survive sementara waktu. Seperti yang saya tuliskan, ada alasan2 hukum yg dibenarkan jika merubah klausul perjanjian.
Dalam hukum perjanjian ada asas "kebebasan berkontrak" (Freedom of Consesualism) sebagaimana dijelaskan pada Ps. 1338 ayat 1 BW. Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat 1 BW, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya (Pacta Sunt Servanda). Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio Interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it).
Kembali lagi kepada menurunkan upah pekerja. Seperti yang saya sampaikan, bhw jika kita melihat upah sebagai bagian dari perjanjian kerja & perjanjian kerja sebagai sebuah produk hukum keperdataan yg sah maka bisa saja upah diturunkan, dg catatan: terpenuhinya alasan2 hukum yg dibenarkan UU & adanya kesepakatan dari para pihak yg menandatangani perjanjian tsb.
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=
Arnold Dharmawan Arsad, SH
Personnel Assist. Manager
Industrial Relations, Legal & Training Div.
PT SANYO Energy Batam
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=
From: HRM-Club@yahoogroups.com [mailto:HRM-Club@yahoogroups.com] On Behalf Of Harijanto
Sent: Thursday, May 30, 2013 8:32 AM
To: HRM-Club@yahoogroups.com
Subject: RE: [HRM-Club] Diskusi dan Sharing MENURUNKAN UPAH PEKERJA
Menurut saya permenaker No Tahun 1999 tidak ada yang implisit, hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan sudah terikat dengan kontrak. Gaji yang baku sudah tidak dapat diturunkan maka jika kita hubungan dengan kinerja karyawan -----biasa dengan aprisal performance.
Seorang comben specialist akan menghitung cost pperusahaan---dengan mana gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Jika perusahaan bergerak dalam distribusi maka cara perhitungan akan lebih banyak tunjangan tidak tetap karena berhubungan omset perusahaan.
Perusahaan saya bergerak dalam bidang EPC maka dalam penggajian karyawan saya mengunakan Gaji Pokok, Tunjangan Jabatan, tidak transport karena saya pakai jemputan ke karyawan , Tunjangan makan dan tunjangan kinerja------untuk fabrikasi kami menilai berapa order dan penyelesaikan order fabrikasi, jika penyelesaian minimal 85 % maka tunjangan kinerja ada tetapi dalam perhitungan kami jika seorang mendapatkan tunjangn kinerja 100 % maka yang harus 100 % adalah Safety perorangan dan departemen 100% pencapaian, kehadiran perorangan dan department 100% (jika ada sakit dll biar mengacu pada UU No 13 tetap kami kurangan dan ini saya bakukan), performance department missal Peronel dan Ga --- pemakaian bahan bakar jika perusahaan untuk tiap bulan 1000 liter tetapi pemakaian 900 liter maka kelebihan 100 liter akan kami 2 yaitu perusahaan 50 liter dan personnel + GA 50 liter akan dibagikan secara adil untuk seluruh department bagi level manager samapi ke driver.
Demikian masukan saya
Salam,
Silvester
From: HRM-Club@yahoogroups.com [mailto:HRM-Club@yahoogroups.com] On Behalf Of Subagiyo Sumodiharyo
Sent: Wednesday, May 29, 2013 4:30 PM
To: HRM-Club@yahoogroups.com
Subject: Re: [HRM-Club] Diskusi dan Sharing MENURUNKAN UPAH PEKERJA
Selengkapnya baca pasal 1338 BW aja
Dalam beberapa kasus ada perusahaan-perusahaan yang mengurangi atau menurunkan gaji/upah karyawannya. Pertanyaannya adalah "apakah boleh gaji/upah karyawan yang telah diberikan diturunkan/ditarik kembali?"
Beberapa praktisi beranggapan bahwa upah tidak boleh diturunkan/dikurangi karena berpegang pada konteks secara harfiah/eksplisit dalam Ps. 17 KEPMENAKER No. 1 Thn 1999 yang menyebutkan bahwa "Pengusaha yang telah memberikan upah yang lebih tinggi daripada upah minimum yang berlaku, dilarang menurunkan/mengurangi upah." Namun dalam konteks pasal tersebut ada makna implisitnya yang harus dicermati, yaitu tidak boleh menurunkan upah lebih kecil daripada upah minimum yang berlaku. Jika berpegang pada makna tersebut maka bisa diartikan bahwa upah bisa saja turun selama ada dasarnya. Apakah yang mendasari upah dapat diturunkan/dikurangi?
1. Dasar filosofis atau kondisi sebab - akibat
Unsur utama hubungan industrial adalah adanya pekerjaan, adanya perintah kerja dan adanya upah. Adanya karyawan yg bekerja / berproduksi / KINERJA dan adanya pengusaha yg memberi upah / gaji. Realita bahwa "KINERJA KARYAWAN" adalah dinamis bisa naik dan/atau turun baik karena faktor lain atau faktor yang disebabkan oleh karyawan sendiri. Idealnya, adanya keseimbangan dinamika antara kinerja dan upah karyawan. Jadi dengan alasan keseimbangan, keadilan, dan menciptakan suasana kompetisi yg sehat, dapat diartikan bahwa "UPAH KARYAWAN JUGA BISA TURUN atau NAIK. Dalam arti kata: Reward dan Punisment.
2. Alasan aturan
Sebagaimana diutarakan pada Ps. 17 KEPMENAKER No. 1 Thn 1999 adalah dalam konteks UPAH MINIMUM. Dalam konteks lain, ada pemahaman/anjuran dari Menaker yang dituangkan dalam SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 untuk alasan survival dan mencegah PHK massal anjuran pertama adalah "Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat Manajer dan Direktur ; Kalimat ini dengan tegas memperbolehkan upah untuk diturunkan (Apapun levelnya, tetap statusnya adalah karyawan). Jika melihat pada konteks ini, artinya ada prosedur-prosedur yang harus dilakukan oleh perusahaan yang dijadikan dasar menarik/menurunkan upah. Alasan-alasan yang digunakan pun harus sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah pengertian tentang upah. Pada Ps. 1 PP No. 08 Thn 1981 Ttg Perlindungan Upah dijelaskan bahwa Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari Pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya. Kemudian dijelaskan pada Ps. 54 (1) UU No. 13/2003 Ttg Ketenagakerjaan bahwa upah adalah bagian dari perjanjian kerja.
Perjanjian kerja adalah salah satu produk hukum yang sah. Syarat sahnya perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 BW (KUHPerdata) adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;������
4. Suatu sebab/kausa yang halal/legal.
Dari syarat-syarat yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Syarat Subyektif serta Syarat Obyektif. Kesepakatan serta Kecakapan merupakan syarat Subyektif, sehingga jika hal ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan. Sedangkan asas "Suatu hal tertentu" serta "Sebab yang halal" merupakan syarat obyektif, jika hal ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan batal atau batal demi hukum.
Aspek berikut yang perlu dipahami adalah pengertian dari "Perjanjian". Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu "suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu hubungan hukum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya hubungan hukum Perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum diantara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya itu berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut dinamakan kreditur (si berpiutang), sedangkan pihak lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur (si berhutang).
Suatu perikatan bisa timbul baik karena perjanjian maupun karena Undang-Undang (UU). Dalam suatu perjanjian, para pihak yang menandatanganinya sengaja menghendaki adanya hubungan hukum diantara mereka menghendaki adanya perikatan. Motivasi tindakan para pihak adalah untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang akan mengatur hubungan mereka, sehingga inisiatif munculnya hak dan kewajiban perikatan itu ada pada mereka sendiri. Beda halnya dengan perikatan yang bersumber pada UU, dimana hak dan kewajiban yang muncul bukan merupakan motivasi para pihak melainkan karena UU yang mengaturnya demikian. Dalam hal ini, perjanjian kerja dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang lahir karena motivasi para pihak. Kenapa demikian? Karena perjanjian kerja tersebut dilakukan karena ada keinginan dari para pihak (pengusaha/perusahaan/majikan dan karyawan/pekerja) untuk mengikatkan diri dalam hubungan hukum. Perjanjian dapat diubah sepanjang adanya kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut.
Merujuk kembali pada Ps. 54 ayat 1 UU No. 13 Thn 2003 tersebut, yang mengatakan bahwa upah adalah salah satu komponen dalam perjanjian kerja, apabila kita memandang aspek dari pengertian perjanjian sebagaimana dijelaskan diatas, maka perjanjian dapat diubah apabila ada kesepakatan antara para pihak yang bersangkutan. Jadi, upah yang menjadi salah satu klausul dalam sebuah perjanjian bisa saja diturunkan/dikurangi sepanjang memang ada kesepakatan dari pihak perusahaan/pengusaha dan pihak karyawan.
Secara aturan, tidak ada aturan yang jelas dan tegas yang melarang upah diturunkan/dikurangi. Namun, ada dasar-dasar hukum sah syarat-syarat yang harus diberikan dijelaskan oleh pihak perusahaan/pengusaha/majikan apabila kebijakan tersebut harus terpaksa dilakukan.
Regards,
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=
Arnold Dharmawan Arsad, SH
Personnel Assist. Manager
PT SANYO Energy Batam
Jl. Beringin Lot 11, Batamindo Industrial Park
Muka Kuning, Batam 29433
Kep. Riau, Indonesia
Tel. +62-770-611321 Ext. 151
Fax. +62-770-611348
arnold.dharmawan@id.panasonic.com
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=
0 comments:
Post a Comment